Laman

11 Agustus 2014

Pidato

Hari ini (setelah setahun lebih), saya tiba-tiba ingin membuka kembali laman ini dan menulis sepenggal kalimat. Begitu layar saya hidupkan, lebih banyak waktu saya habiskan untuk kembali membaca beberapa tulisan lama dibandingkan menekan papan tuas huruf. Sebaris senyum, sekerut kening...saya memaksa ingatan untuk menerawang waktu dan beban batin di tanggal setiap tulisan. Beberapa masih butuh waktu untuk mereka-reka maksud dan alasan.
Sekilas, saya melihat beberapa momen yang terjadi hampir sembilan tahun lalu melalui dunia maya, haru biru, basah kering, lantang sepi, sepertinya mewarnai masa itu. Banyak yang terlihat, banyak yang harus dilewatkan. Saya tertarik untuk mengunggah kembali pesan yang disampaikan Pak SBY waktu itu (sambil saya berharap akan kembali menyimak pidato kenegaraan terakhir beliau di 16 Agustus 2014 ini, walaupun sudah ada presiden baru). Pidato ini berlangsung satu hari setelah GAM-RI sepakat menandatangani kesepahamannya.

...
Kita memang mewarisi beban-beban masa lalu, baik di Aceh maupun di Papua. Sejak awal kemerdekaan, Aceh adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumbangan tokoh-tokoh dan rakyat kita di Aceh dalam menegakkan kedaulatan negara di zaman revolusi, tidak mungkin kita lupakan untuk selama-lamanya. Ketika sebagian besar wilayah negara kita diduduki oleh pasukan Sekutu dan Belanda, kita menjadikan Aceh sebagai daerah modal. 
Berbagai peristiwa telah terjadi di masa lalu, sehingga terjadilah pergolakan dan pemberontakan, yang baru dapat diatasi pada akhir dekade 1950. Situasi tenang di Aceh tidak berlangsung lama. Berbagai ketimpangan yang ada, telah mendorong timbulnya gerakan pemisahan diri, sejak tahun 1976. Sejak itu, hampir tiga dekade lamanya konflik bersenjata terjadi di Aceh. Berbagai kebijakan penanganan telah dicoba untuk dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Betapa sedih dan duka hati kita, dalam 60 tahun usia kemerdekaan bangsa kita, hanya beberapa tahun saja rakyat kita di Aceh menikmati kehidupan yang damai. Kesedihan itu semakin bertambah, ketika gempa bumi yang dahsyat dan gelombang tsunami melanda Aceh. Hampir dua ratus ribu jiwa menjadi korban dalam waktu sekejap. Dalam suasana duka seperti itu, Pemerintah bertekad untuk segera menyelesaikan persoalan di Aceh secara damai, adil dan bermartabat, sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002. 
Sejak bulan Januari yang lalu, saya mulai meneruskan langkah Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati, untuk melakukan pembicaraan informal dengan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia. Pembicaraan itu telah membuahkan hasil, dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman tanggal 15 Agustus kemarin. Dengan kesepahaman ini, GAM mengakhiri kegiatannya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah meminta pertimbangan DPR untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mantan aktivis GAM. Semua agenda yang tertera dalam Memorandum Kesepahaman, akan kita laksanakan dengan konsisten. Saya minta kepada mantan aktivis GAM untuk juga mentaati kesepakatan itu. 
Dalam melakukan pembicaraan informal dengan GAM, Pemerintah tetap berpegang teguh pada prinsip, yakni tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bendera Merah Putih tetap berkibar dan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dijalankan. Tidak ada satu pasal pun Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang yang tidak kita pedomani. Konflik di Aceh adalah persoalan dalam negeri. Kita tidak pernah berniat untuk menginternasionalisasikannya. Kehadiran pemantau asing dari Uni Eropa dan ASEAN untuk memonitor pelaksanaan Memorandum Kesepahaman, bukanlah campur tangan asing ke dalam negeri kita. Kita juga pernah melakukan tugas yang sama, memantau proses penyatuan dua Vietnam dan memantau gencatan senjata dalam proses damai, antara Pemerintah Filipina dengan Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF). Pemerintah berharap, penandatanganan Memorandum Kesepahaman dengan GAM, akan menjadi titik awal penyelesaian konflik yang permanen di Aceh.
...
Semangat dan harapan besar untuk kembali menata hidup yang porak poranda. Semangat dan harapan untuk bersatu dan bertanggung jawab atas semua janji dan rencana. Semangat untuk mengatakan mandiri dan juga berkontribusi bagi perdamaian dunia. (Itu dulu) Semangat yang berbeda terlihat hari ini. Kerinduan damai (pasca naskah kesepahaman) ditanda tangani sepertinya mulai luntur. Berbeda dan beralasan sepertinya akan menjadi wacana baru kedepan.  Lupa dan terlupakan akan menjadi alasan dan agenda perjuangan sembari mengharapkan Presiden baru akan mengambil alih tanggung jawab yang tertinggal.

Saya hanya ingin berbagi semoga tidak terlupakan...