Laman

29 Juni 2013

Awasi

Mengikuti ragam soalan rencana penetapan RUU Ormas membuat saya merinding sekaligus senang. Saya merinding ketika berbagai pakar dan analis mencoba menjelaskan bagaimana kebebasan akan dikekang dan dikendalikan. Negara berubah wujudnya dari sebuah struktur yang abstrak menjadi wujud yang memiliki bola mata. Saya merinding ketika membayangkan berbagai agenda perubahan sosial akan dikelompokan sebagai ancaman. Saya membayangkan bulu kuduk akan tegak karena negara kembali dekat dari selama ini jauh. Mungkin intel dan menginteli akan kembali menjadi profesi yang menjanjikan.

Seperti halnya anda, sebenarnya saya juga tak terlalu paham arti bernegara selama ini. Seperti halnya anda, saya juga tak paham apakah saya boleh merasa atau mengaku bernegara selama ini. Tapi kata satu teman, biarkan saja, karena kita lahir juga ketika negara ini sudah ada dan kita tak pernah minta dilahirkan disini. Bernegara mungkin bagi saya adalah ada tanpa hak.

Dulu, di tahun 2000 atau 2001, ketika Undang-Undang tentang Yayasan akan terbit, saya ingat, diskursus seperti ini juga ramai berlangsung. Saya juga ingat, bagaimana marahnya berbagai kalangan akan rencana atur mengatur ini. Saya ingat, bagaimana argumen dibangun dengan alasan amanah reformasi, dengan alasan amburadul dan tidak jelasnya tata kelola berbagai yayasan tentara dan Soeharto, hingga perlu sebuah undang-undang untuk memperbaikinya. Banyak organisasi yang tiba-tiba terkena sindrom alergi, ikut-ikutan marah karena merasa bersih dan tak mau dianggap seperti yayasan milik tentara atau milik Soeharto. Pilihan umum waktu itu adalah berubah menjadi perkumpulan.

Waktu itu bersama dengan beberapa teman, saya juga sedang asyik masyuk merasa sebagai pembaru sosial. Seperti halnya tuntunan, kemarahan itu juga merasuki saya. Saya juga ikut-ikutan marah. Seperti halnya anda, saya juga terjerembab dalam kesibukan menolak. Ikut dalam berbagai pertemuan, percakapan, hingga menggalang dukungan tertulis menjadi keharusan karena saya ingin menjadi bagian kelompok yang tak suka diatur-atur. Kebebasan menjadi kata kunci.

Hahaha...namun tahukah anda, ketika 22 Juni 2001, saya dan beberapa teman ingin melegalkan organisasi yang bernama Katahati, pilihan badan hukum yang kami pilih waktu itu adalah Yayasan. Loh, kenapa bukan perkumpulan atau pergerakan ? Pasti anda akan bertanya demikian, alasannya sederhana, jumlah kami terbatas dan yang penting punya badan hukum dulu. Ironi atau kebodohan ? Kami tak punya waktu untuk mendiskusikannya. Saya juga baru sadar malam ini, sekarang organisasi ini telah berumur 12 tahun.

Hari ini kemarahan saya terhadap rencana atur mengatur ini tak sebesar 2001. Tak jelas apakah saya yang telah melemah. Ataukah karena saya sadar, sebenarnya negara ini hanya rajin memproduksi pembatasan yang tak akan juga diurusnya nanti. Namun saya juga masih merinding, karena argumen sekian belas dan puluh tahun lalu itu seakan masih berlaku. Negara ini sedang membangun ketakutan untuk tidak mengatakan (terus) memproduksi ketakutan bagi warganya.

Lepas dari berjuta argumen dan analisis yang ada-- jikalau penyelenggara negara dan kita semua yang mengangap diri bersih dan benar bersungguh--biar berjuta rencana pembatasan dan pengendalian di produksi di negara ini, saya masih akan tetap tinggal dan bertindak sebagai pembaharu sosial di negeri ini karena (jujur, saya senang) saya kembali akan merasa penting karena negara mau kembali mengurusi kedaulatannya walaupun itu dilakukan dengan menjadikan warganya sebagai sumber ancaman. Saya senang, karena akan kembali bertarung dengan lawan yang bernama tirani.